“Kalut”, Catatan Penerjemah
Oleh: Tiya Hapitiawati
81 tahun setelah pertama kali diterbitkan di Jerman oleh S.Fischer Verlag, novel yang berjudul asli “Ungeduld des Herzens” akhirnya bisa dibaca dalam edisi bahasa Indonesia. Pernah difilmkan dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa (versi Inggris “Beware of Pity/ The Impatience of The Heart), novel ini merupakan karya Stefan Zweig satu-satunya yang berbentuk novel panjang sekaligus menjadi novel terbaiknya.
Terlepas dari popularitas Zweig yang amat bersinar di Eropa dan Amerika kala itu, bahkan hingga setelah kematian yang ia jemput sendiri di Brazil dengan overdosis barbiturate, tampaknya harus diakui bahwa karya-karya Zweig memang hampir belum masuk dalam peta perbukuan di Indonesia. Saya bilang hampir karena pernah juga saya lihat ada penerbit independen menerbitkan salah satu karya novelet Zweig, Schachnovelle (Royal Game), meski diterjemahkan dari bahasa Inggris dan bukan dari bahasa aslinya. Salah satu karyanya yang berbentuk biografi, Marie Antoinette pernah diterbitkan oleh Pustaka Jaya tahun 1986, juga dari bahasa Inggris. Tentu tak ada alasan untuk tak mengapresiasinya.
Berkisah tentang kasih tak sampai seorang gadis lumpuh pada seorang letnan kavaleri, novel ini sukses mengaduk-aduk emosi saya selama proses penerjemahannya. Tak heran bila banyak karya Zweig yang disoroti dan ditelaah dari sudut pandang psikologi, menyebut-nyebutnya sebagai Freudian, menelisik kecerdasan teknik sastra yang ia gunakan, dan lain sebagainya. Tak jauh beda dengan karyanya yang lain, novel ini tak pernah berhenti mengaduk perasaan pembaca dari awal hinga akhir cerita. Dari segi linguistik? Pemadanan kosakata emosi menjadi salah satu hal yang paling bikin emosi selama proses penerjemahan. Yang belajar ilmu linguistik pasti tahu, kosakata bermuatan emosi masih menjadi objek penelitian primadona sampai saat ini saking ruwetnya. Tak hanya dalam bahasa Jerman, tapi mungkin dalam bahasa lain juga. Urusan hati memang tak pernah sederhana, ya?
Gaung karya-karya Stefan Zweig di Indonesia (atau Asia?) mungkin tak pernah sekuat di Eropa atau Amerika. Saya sempat takjub saat setahun lalu menonton film Farewell to Europe (2016) yang menceritakan eksil Zweig dari Inggris ke Amerika, Amerika Latin, hingga menjadikan Petropolis, Brazil, “rumah” hingga akhir hayatnya. Takjub dengan penggambaran betapa populernya karya seorang Zweig, dikenal dan dielukan hingga pelosok negeri-negeri di seberang benua kelahiran karya-karyanya. Selain menjadi penulis besar eksil, korban gusuran Hitler, dan terang-terangan bilang terperangkap dalam bahasa yang tak lagi bisa ia gunakan –yang agaknya sudah cukup membuatnya “punya sinar” sampai penjuru dunia kala itu—, karya-karya Zweig memang terbilang luar biasa di antara deretan karya-karya berbahasa Jerman lain pada masanya. Senang sekali akhirnya Moooi Pustaka bisa menghadirkan novel ini dan pembaca Indonesia bisa menikmati novel terbaik seorang Stefan Zweig.
Comments are closed here.