Kerja Jarak Jauh dan Produksi Buku

Oleh Eka Kurniawan

Memproduksi buku “Nadir” karya Herta Müller merupakan yang paling “ribet” sekaligus menyenangkan. Sebetulnya sejak awal mulai menjalankan proyek Moooi Pustaka, saya sadar seni memproduksi buku tak sekadar urusan keredaksian (menerjemahkan, mengedit, dan lainnya), tapi juga urusan menghadirkannya sebagai sebuah benda. Iya, benda yang bisa dipegang dan dihirup aromanya.

Karena semua kerja di Moooi dilakukan jarak jauh (kata kekinian: work from anywhere), masa-masa awal kami mengikuti proses produksi yang nyaris konvensional. Dengan ukuran standar dan kertas yang umum tersedia, juga proses cetak yang dilakukan kebanyakan buku. Ini memudahkan cara kerja kami. Saya biasanya hanya bicara ringkas dengan orang di percetakan, karena selebihnya mengikuti kebiasaan saja. Baru pertengahan tahun ini, kami memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda, tapi sekaligus tak membuat pusing percetakan. Terlalu kostumisasi akan merepotkan produksi, terutama jika niatnya memproduksi buku secara reguler. Perbedaan kecil kami lakukan hanya dengan mengganti kertas sampul. Dari Ivory ke Acquarello yang lebih berstektur. Sentuhan kecil yang kami harap bisa memberi sedikit perasaan berbeda bagi yang memiliki dan membaca. Sampul jenis ini dimulai di buku “Indiana” karya George Sand.

Lalu, tibalah saatnya memproduksi “Nadir”. Sejak awal, sesuai kesepakatan dengan perwakilan pemilik hak cipta, buku ini mesti dicetak sampul keras. Tak masalah, pikir kami. Sudah banyak yang melakukannya. Tapi, ternyata tak gampang, disebabkan satu hal yang sejak awal telah kami lakukan: kerja jarak jauh, ditambah pertimbangan-pertimbangan lain.

Pertimbangan pertama, kami tak bermaksud untuk memakai jaket. Seperti dinding rumah yang terekspose batu-batanya, rasanya lebih menyenangkan jika buku ini langsung terlihat bentuk sampul kerasnya, tanpa tertutup jaket. Jadi desain memang harus langsung di sampul kerasnya, seperti “library binding”. Pertimbangan kedua, meskipun sampul keras, kami ingin format desain tetap sama dengan buku-buku Moooi yang sampul lunak. Paling mudah, tentu saja sampul kerasnya dicetak “full color” biasa saja, yang tentu saja kami hindari. Sudah susah-susah pakai sampul keras, buat apa cetak yang biasa saja?

Maka kami memutuskan bahwa kertas sampulnya harus warna hitam. Hitam dari sananya, agar warnanya solid, dan bukan hitam karena tinta cetak. Ini membuat kami bersemangat karena sudah membayangkan bentuknya yang asyik, tapi memberi pertanyaan lanjutan: terus cetaknya bagaimana di kertas warna hitam? Ilustrasi yang sudah dibuat, saya sendiri yang membuat (karena ini eksperimen baru, jadi saya coba sendiri dulu saja), memang sejak awal dibuat dengan bayangan akan dicetak di atas kertas hitam. Gagasan pertama adalah mencetaknya dengan hot print. Kenapa? Hot print, sejauh saya bayangkan, paling bisa muncul warna bloknya di atas kertas warna hitam.

Tapi, ternyata, variasi warna untuk cetak hot print tidak banyak. Setidaknya tidak seperti yang saya mau. Juga tergantung ketersediaan di percetakan. Inilah awal tantangan terberat kerja jarak jauh. Saya tak bisa datang ke percetakan untuk melihat sendiri kemungkinan-kemungkinan cetak ini. Hanya bisa membayangkan, juga melihat secara digital. Dalam keadaan buntu seperti itu, sempat terpikir tiga opsi. Pertama, cetak sampulnya disablon. Meskipun belum mencobanya, tapi kami membayangkan hasilnya bisa mendekati yang kami mau. Problemnya: biaya pasti lebih mahal karena manual, dan waktu pengerjaan juga bisa lebih lama. Kami mencoret opsi ini, menganggap sablon terlalu mewah. Hanya untuk buku yang pendekatannya benar-benar “craft”. Opsi kedua, jika mentok, cetak offset biasa dengan warna CMYK. Membayangkannya saja saya sudah kesal sendiri. Hasilnya akan seperti buku sampul keras umumnya, terlalu biasa saja. Opsi ini juga dicoret. Opsi ketiga, tetap cetak hot print, dengan tinta emas dan perak. Tak terlalu memuaskan saya, meskipun lagi-lagi cuma ada dalam bayangan di kepala, tapi mungkin perlu dicoba.

Problem lainnya, dengan sistem cetak apa pun, hasilnya bisa berbeda-beda di kertas yang berbeda. Kami mau pakai kertas apa? Ini problem lain kerja jarak jauh. Kertas-kertas itu harus dilihat sendiri, diraba dengan tangan, bahkan dipastikan ukurannya. Idealnya, memproduksi buku memang sekalian jalan-jalan ke percetakan sekaligus ke gudang kertas. Kami tak punya kemewahan itu. Saya tak mau risau soal itu dulu. Saat itu saya masih memikirkan opsi ketiga cetak hot print yang merupakan gagasan awal, tapi realitanya tak seperti yang saya bayangkan.

Tiba-tiba, saat saya sedang nyetir mobil dan terkena kemacetan, terpikir oleh saya satu hal sederhana yang seharusnya jadi opsi sejak awal: kenapa tidak dicetak biasa, tapi dengan cat khusus yang bisa nempel di kertas hitam? Cat yang sifatnya menutup (opaque, bukan transparan). Meskipun belum pernah mencoba, saya yakin ada cat seperti itu. Saya sering melihat kemasan-kemasan berwarna gelap dengan cat terang. Saya minggir ke tepi jalan, menelepon pemilik percetakan, dan bertanya soal opsi tersebut. Ternyata dia juga sepemikiran, dan ya, ada cat seperti itu. Tapi, tetap harus diuji coba.

Kebetulan beberapa hari kemudian saya ada kesempatan datang ke Yogyakarta, tempat buku Moooi dicetak. Pemilik percetakan membawa selembar kertas hitam yang sudah diolesi cat. Gagal. Cat warna kuning itu hanya terlihat samar-samar di kertas hitam. Tapi, pemilik percetakan mencoba lebih optimistik. Ini mungkin masalah kertasnya, yang terlalu menyerap cat. Dia dan pekerja di percetakannya akan mencobanya dengan beberapa kertas. Akhirnya kami sepakat untuk mencobanya dulu beberapa lembar, lalu kirim ke Jakarta. Bagaimanapun, meskipun kerja jarak jauh dan mengandalkan internet, saya ingin melihat sendiri barangnya dan hasil cetaknya. Diraba juga dengan tangan.

Seminggu kemudian datang dua eksemplar dummy hasil cetak. Dengan dua pilihan cetak dan dua pilihan kertas. Saya menggabungkan hal-hal terbaik dari dua dummy tersebut, dan hasilnya ya, buku “Nadir” yang sekarang sudah beredar. Deg-degannya lama, tapi akhirnya senang bisa melihat bukunya seperti yang sejak awal dibayangkan. Jika suatu saat nanti harus atau ingin memproduksi buku dengan sampul keras lagi, walaupun kerja jarak jauh, setidaknya pengalaman pertama ini akan sangat membantu. Secara pribadi, saya berterima kasih kepada Utama Offset di Yogyakarta, yang sabar dan juga antusias dengan eksperimen (versi kami) ini. Buat pembaca, selamat menikmati. Baik isinya (yang tentu saja merupakan pembuka perkenalan dengan fiksi Herta Müller, dan semoga kami bisa melanjutkan perkenalan ini), maupun bendanya secara fisik.

Comments are closed here.

Pilih Bukunya
Pilih buku pilihan. Klik Beli Sekarang, atau Tambahkan ke Keranjang, untuk mencari dan menambah buku lain.
Langsung Pesan
Masukkan alamat dan pilih kurir. Harga dan ongkir dihitung, pesanan langsung terhubung ke WhatsApp.
Bayar dan Kirim
Bayar tagihannya dan kirim konfirmasi. Buku pilihanmu dikirim dari Yogya ke alamatmu.
Temukan kami di :

Pengiriman

Pembayaran

Butuh Bantuan ?

Keranjang Belanja

×

Ups, Belum ada barang di keranjang belanja Anda.

Belanja Sekarang !

Form Bantuan Whatsapp!

×